nama

Jumat, 14 Oktober 2011

Makalah Aliran Mu'tazilah.mazdan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang 
Pemikiran-pemikiran para filosof dari  ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka. Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

B.     Perumusan Masalah
Dalam karya ilmiah ini kami akan memaparkan pembahasan tentang teologi aliran Mutazilah seperti pembahasan di bawah ini.
1. Bagaimana sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah ?
2. Bagaimana pemikiran-pemikiran ajaran aliran Mutazilah ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh Aliran Mutazilah ?






























BAB II
PEMBAHASAN

A.     Asal Usul Sebutan Mu’tazilah
Mu’tazilah secara etimologis berarti orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Hasan al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Aliran Mu’tazilah adalah aliran teologi islam terbesar dan tertua yang lahir sekitar pada permulaan abad pertama hijriyah di sebuah kota yang pada waktu itu merupakan pusat ilmu dan peradaban islam yaitu kota Basrah di Irak. Pada waktu itu banyak orang-orang yg ingin menghancurkan islam dari segi aqidah, baik dari mereka yg menamakan dirinya islam ataupun tidak.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri dan atau menyalahi pendapat orang lain. Secara teknis penyebutan istilah mu’tazilah ada dalam beberapa versi, antara lain :
1. Disebut Mu’tazilah karena Wasil bin Atha’ dan ‘Amar bin ‘Ubaid menjauhkan diri dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah dan kemudian membentuk majlis ta’lim sendiri sebagai kelanjutan dari pendapatnya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak mukmin lengkap juga tidak kafir lengkap melainkan berada di antara dua tempat tersebut (al manzilatu bainal manzilataini). Dengan adanya peristiwa tersebut, Hasan Basri berkata “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”. Sehingga mereka disebut golongan Mu’tazilah. Jadi penyebutan Mu’tazilah menurut versi ini secara lahiriyah yaitu pemisahan fisik atau menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain.
2. Disebut Mu’tazilah karena mereka berbeda pendapat dengan golongan murji’ah dan golongan khawarij tentang tahkim atau pemberian status bagi orang yang melakukan dosa besar. Golongan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih termasuk orang mukmin, sedang menurut golongan khawarij pelaku dosa besar menjadi kafir dan menurut Hasan Basri ia menjadi orang munafik. Datanglah Wasil bin Atha’ yg mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin bukan pula kafir, melainkan fasik jadi penyebutan mu’tazilah menurut versi yang kedua ini adalah secara ma’nawiyah yaitu menyalahi pendapat orang lain.
3. Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti dia telah menjauhkan diri dari golongan orang mukmin dan orang kafir.yang berarti juga bahwa istilah mu’tazilah itu menjadi sifat bagi pelaku dosa besar tersebut yang kemudian menjadi nama/sifat bagi golongan yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar menyendiri dari orang orang mukmin dan orang kafir.
Dari pemaparan di atas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya pemberian nama mu’tazilah pada suatu golongan, karena perbedaan pendapat mereka dalam masalah tahkim atau pemberian status terhadap pelaku dosa besar yang pada akhirnya golongan mu’tazilah juga berperan besar dalam memback-up islam dari musuh musuhnya yang ingin menghancurkannya. Walaupun pada hakikatnya istilah mu’tazilah telah ada sejak sebelum peristiwa Wasil bin Atha’.

B.       Sejarah Aliran Mu’tazilah
Pada saat Imam Hasan al-Basri sedang mengajar di mesjid, ada seseorang bertanya tentang para pendosa, apakah masih beriman atau telah kafir? Beliaupun diam sejenak untuk berfikir. Saat itulah Wasil bin Atha' menjawab bahwa para pendosa berada di antara mu'min dan kafir. Kemudian ia membentuk jemaah baru di sudut lain mesjid. Imam Hasan al-Basri berkata "Ia telah i'tizal (mengasingkan diri) dari kita. Jadi mu'tazilah adalah orang yang mengasingkan diri dari Imam Hasan al-Basri, sesuai dengan perkataan beliau tersebut.
Kelompok pemuja akal (Qadariyyah) muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari takdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.

C.       Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah
Ada Lima pokok ajaran (al-ashul al-khomsah) yang menjadi prinsip aliran Mu’tazilah :
1.    At- Tauhid (Ke-Mahaesaan Allah)
Dalam prinsip ini mereka mengatakan bahwa Allah baru dikatakan Maha esa apabila benar-benar merupakan dzat yang unik,yang tidak ada suatu apapun yang menyerupai Allah. Kaum ini menolak faham Anthromorfism yaitu faham yang menggambarkann Tuhan menyerupai makhluknya, juga faham Beautific Vision,yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia.menurut mereka satu-satunya sifat yang hanya dimilliki Tuhan yang tidak mungkin dimiliki makhluk adalah Qodim. Faham ini mendorong Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud tersendiri yang di luar dzat Tuhan.  Menurut faham ini tidak berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat, Tuhan tetap Maha kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar dan sebagainya, tetapi itu tidak dapat dipisahkan dari dzat Tuhan (esensi dzat Tuhan). Adapun yang dimaksud dengan pemisahan sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana pendapat golongan lain yang memandang bahwa sifat-sifat Tuhan sebagai esensi Tuhan dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu’tazilah faham ini di munculkan karena keinginan untuk memelihara ke-Maha-esaan Tuhan.
2.    Al-‘Adl (keadilan)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil berdasaarkan sudut pandang manusia.
Prinsip ini berkaitan erat dengan beberapa hal, diantaranya:
a.         Perbuatan manusia
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Jadi manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya baik ataupun buruk perilakunya, tetapi yang dikehendaki Tuhan adalah perbuatan yang baik.
b.        Berbuat baik dan terbaik
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat tidak adil dan aniaya, karena hal ini akan memberikan kesan bahwa Tuhan itu penjahat dan  penganiaya, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat tidak layak bagi Tuhan yang bersifat Maha Sempurna.
c.         Mengutus Rasul
Alasan mengutus rasul merupakan kewajiban Tuhan terhadap Manusia:
·      Tuhan wajib berlaku baik terhadap menusia, dan hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada manusia.
·      Al-Quran menyatakan secara tegas kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih terhadap manusia (Q.S Asy-Syu’ara : 26) cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan diutusnya Rasul.
uÅ+ø9é'sù äotys¡¡9$# tûïÏÉf»y ÇÍÏÈ
Artinya :” Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah) (Q.S     Asy-Syu’ara : 26)
·      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain kecuali dengan diutusnya Rasul.
3.    Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
          Prinsip ini merupakan prinsip lanjutan dari prinsip sebelumnya tentang keadilan. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan memberikan pahala dan menjatuhkan siksa bagi manusia di akhirat nanti. Menurut mereka Tuhan tidak dikatakan adil apabila tidak memberikan pahala kepada manusia yang berbuat kebaikan dan menjatuhkan siksa kepada mereka yang berbuat jahat. (QS. Al Zalzalah ayat 7-8.)
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ
Artinya  :“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” (QS. Al Zalzalah ayat 7-8.)

          Prinsip keadilan ini menghendaki orang yang berbuat jahat akan menerima balasan berupa neraka dan orang yang berbuat kebajikan akan memperoleh kenikmatan surga sebagaimana yang telah dijanjikan-Nya. Kaum mu’tazilah juga mengingkari adanya syafa’at (pangampunan) pada hari  kiamat, karena menurut mereka hal ini bertentangan dengan prinsip Al-Wa’aw wa Al-manzil ini.
4.    Al-Manzilah baina Al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)
     Prinsip inilah yang merupakan awal mula munculnya faham Mu’tazilah ini. Ajaran ini terkenal mengenai pemberian status terhadap mukmin yang melakukan dosa besar. Apabila menurut Khawarij mukmin pelaku dosa besar adalah kafir bahkan musyrik, sedangkan menurut Murji’ah statusnya tetap muknin dan dosanya diserahkan sepenuhnya terhadap Tuhan, bisa jadi dosa tersebut diampuni-Nya. Menurut Washl bin Ata (tokoh pendiri Mu’tazilah) posisi seseorang tersebut adalah al-manzilah baina al-manzilatain.
     Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Pelaku dosa besar tidak dikatakan mukmin secara mutlak karena keimanan menuntut adanya kepatuhan terhadap Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Seseorang tersebut dikatakan tidak kafir secara mutlak karena ia masih percaya terhadap Tuhan dan Rasul-Nya dan masih berbuat kebaikan.
5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah berbuat baik dan larangan berbuat buruk)
            Prinsip ini menekankan kepada keberpihakan terhadap kebaikan dan hal ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pendapat ini sama halnya dengan pendapat golongan-golongan umat Islam lainnya, apakah amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dengan cara yang halus ataukah dengan cara yang keras.
Menurut salah satu tokoh Mu’tazilah Abd Al Jabbar, beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu mereka mengetahui bahwa :
a.    Perbuatan yang disuruhkan itu adalah benar-benar ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar.
b.    Kemungkaran telah nyata dilakukan oleh pelaku.
c.    Perbuatan amar ma’ruf nahi munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d.   Paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan dirinya dan hartanya.
            Amar Ma’ruf nahi munkar bukan merupakan monopoli konsep Mu’tazilah. frase tersebut sering digunakan dalam Al-Quran. Arti asal Al-ma’ruf adalah sesuatu yang telah diakui dan diterima masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Secara spesifik al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah SWT. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu yang tidak dikenal, tedak diterima atau buruk.
Terlepas dari pandangan Ajaran ini benar atau salah, kehadiran kaum Mu’tazilah banyak berperan dalam kemajuan umat Islam. dalam sejarah perkembangannya Mu’tazilah pernah mengalami masa kejayaan terutama masa Kekhalifahan Raja Al-Ma’mun, namun karena kaum mu’tazilah sering memaksakan kehendaknya dalam menyebarkan ajaran mereka, hal ini  lambat laun menyebabkan berkurangnya simpati dari umat Islam. terlebih setelah munculnya persoalan apakah Al-Quran itu qodim ataukah hadits (baru, makhluk atau yang diciptakan). Perdebatan ini menyebabkan terpecahnya golongan kaum muslimin menjadi dua, yaitu kaum pemuja akal fikiran dan kaum yang berpegang teguh terhadap Al-Quran dan As-sunnah yang menganggap bahwa setiap yang baru itu bid’ah dan kafir.
Ø  Ayat-ayat tentang bantahan terhadap pemikiran Mu’tazilah:
a.  Kaum mu’tazilah mengingkari hadits-hadits tentang Ru’yah yang menyatakan akan dapat dilihatnya Allah pada hari Kiamat. Mereka berdalil dengan ayat-ayat yang terkesan menafikan secara mutlak akan dilihatnya Allah Subhanahu wata’ala pada hari kiamat. Seperti dalam ayat berikut ini, firman Allah:
$£Js9ur uä!%y` 4ÓyqãB $uZÏF»s)ŠÏJÏ9 ¼çmyJ¯=x.ur ¼çmš/u tA$s% Éb>u þÎTÍr& öÝàRr& šøs9Î) 4 tA$s% `s9 ÓÍ_1ts? Ç`Å3»s9ur öÝàR$# n<Î) È@t6yfø9$# ÈbÎ*sù §s)tGó$# ¼çmtR$x6tB t$öq|¡sù ÓÍ_1ts? 4 $£Jn=sù 4©?pgrB ¼çmš/u È@t7yfù=Ï9 ¼ã&s#yèy_ $y2yŠ §yzur 4ÓyqãB $Z)Ïè|¹ 4 !$£Jn=sù s-$sùr& tA$s% šoY»ysö6ß àMö6è? šøs9Î) O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÍÌÈ
Artinya : “Dan tatkala Musa datang untuk (bermunajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Allah telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Allah menjawab: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap ada di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabb-nya menampakkan diri pada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman". ( QS.Al-A’raaf: 143)
Bantahan terhadap penolakan mereka adalah sebagai berikut:
1.    Allah Subhanahu wata'ala menjawab permintaan Nabi Musa dengan ucapan-Nya: “Engkau tidak bisa melihatku”, tidak mengatakan “Aku tidak bisa dilihat”. Perbedaan antara kedua jawaban di atas sangat jelas. Seperti dicontohkan oleh Ibnul Abil ‘Izzi: jika di kantong seseorang ada batu, kemudian seseorang mengira bahwa itu adalah makanan, lalu ia memintanya: “Berilah makan aku dari apa yang ada di kantongmu!”, jawaban yang benar terhadap permintaannya adalah “Ini tidak bisa dimakan”. Tapi kalau memang benar yang di dalam kantong itu adalah makanan, tapi ia tidak mengizinkannya, maka jawaban yang benar adalah: “Engkau tidak bisa memakan makanan ini”.
2.    Maka apa yang disebutkan Allah dengan jawaban: “Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku” bermakna “Engkau tidak mampu untuk melihat-Ku di dunia ini”. Jawaban ini sekaligus bermakna bahwa pada suatu saat Allah dapat dilihat, yakni ketika Allah mengizinkannya bagi penduduk surga dan memberikan kekuatan dan kemampuan kepada mereka untuk melihat wajah-Nya.
3.    Jawaban Allah kepada Musa:
وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَر
“..tapi lihatlah ke gunung itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Dalam ayat ini Allah memberitahu bahwa gunung dengan kekokohan dan kekuatannya, ternyata hancur luluh ketika Allah Subhanahu wata'ala menampakkan diri kepadanya. Maka bagaimana dengan manusia yang Allah ciptakan dalam keadaan lemah. Ini juga membuktikan bahwa Allah bisa menampakkan diri kepada siapa saja dan pada saat kapan pun yang dikehendaki-Nya.
b.  Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar kekal abadi di An-Naar maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya :”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa ayat 48)
dan juga bertentangan dgn sabda Rasulullah yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira bahwa siapa saja dari umatku yg meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.”
D. Tokoh-Tokoh Aliran Mutazilah dan Pemikirannya.
Aliran mutazilah telah melahirkan pemuka dan tokoh-tokoh penting. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri-sendiri. Aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad.
1.    Washil bin Atha.
Washil bi Atha terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinnya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip pemikiran mu’tazilah yang rasional. Ia menghasilkan beberapa karya salah satunya Al-milal Wal nihal, Al-Syahrastani mengatakan bahwa ajaran-ajaran pokoknya adalah sebagai berikut:
1)   Mengingkari sifat-sifat Allah
Washil mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-sifat ini di akui sebagai kekal azali, itu berarti terdapat “ pluralitas yang kekal “ dan berarti bahwa percaya pada keesaan Allah adalah dusta belaka.
2)   Kepercayaan kepada kehendak bebas.
3)   Posisi menengah bagi pelaku dosa besar.
Washil percaya bahwa orang islam yang melakukan dosa besar adalah bukan kafir dan bukan mukmin tetapi berada pada posisi tengah-tengah. Orang yang melakukan dosa besar tidak akan pernah berhak di puji ( dia tidak dapat disebut mukmin sejati) tetapi orang tersebut mempercayai akidah islam dan mengaku bahwa yang berhak dan layak disembah hanyalah Allah, oleh karena itu ia tidak dapat dipandang kafir. Jika orang tersebut mati tanpa bertaubat maka dia akan kekal di neraka. Namun karena kenyakinannya benar, maka hukumannya akan sedang-sedang saja. Jadi intinya yaitu pelaku dosa besar tetap saja mukmin biarpun ia mati tanpa bertaubat dari dosanya itu dan setelah ia dihukum di neraka atas kesalannya itu dengan demikian berarti ia menjadi suci lagi maka akhirnya ia akan dimasukkan ke surga.
2.    Abu Al-Huzail Al-Allaf
Abu Al-Huzail Al-Allaf ialah sebagai pemimpin Mu’tazilah yang kedua di Basrah. Ia banyak mempelajari filsafat Yunani sehingga pengetahuan tentang filsafat memudahkan baginya untuk menyusun ajaran Mu’tazilah secara teratur. Allaf berpendapat bahwa esensi Allah tidak memiliki sifat dan mutlak satu dan sama sekali tidak jama. Sifat-sifat tuhan tiada lain kecuali esensi tuhan dan tidak dapat terpisah dri esensi itu. Allaf mengakui sifat-sifat itu tetapi menurutnya, sifat-sifat tersebut menyatu dengan esensi Allah, dalam arti sifat itu identik dengan esensi. Dia tidak membedakkan antara sifat dan dzat, tetapi memandang keduanya sebagai satu. Bila orang mengatakan allah itu mengetaui, jangan diartikan bahwa dalam esensi Allah terdapat pengetahuan, tetapi bahwa pengetahuan itu sendiri adalah esensi-Nya. Singkatnya, Allah itu mengetahui, berkuasa, dan hidup dengan pengetahuan, kekuasaan dan kehidupan kesemuanya itu adalah esensinya.
3.    An-Nazzam.
Ia adalah murid Abu Al-hujai Al-allaf. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran mu’tazilah lainnya. An-nazzam mempunyai ketajaman berpikir yang luar biasa tentang metode keraguan pendapat-pendapatnya  yaitu :
1)   Tuhan tidak berkuasa berbuat jahat.
Ia berpendapat tentang keadilan tuhan. Tuhan itu maha adil sehingga tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Ia lebih jauh dari gurunya, Al-allaf yang berpendapat bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya. An-nazzam menegaskan bahwa hal itu bukan hanya mustahil, tetapi tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Menurutnya, perbuatan zalim hanya dilakukan oleh orang bodoh dan tidak sempurna sedangkan tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
2)   Mengingkari kehendak Allah.
An-nazzam mengingkari kehendak tuhan karena menurutnya kehendak berarti keinginan. Jadi, orang yang menghendaki berarti memerlukan sesuatu yang dikendakinya, karena tuhan tidak bergantung sama sekali kepada semua makhluk-Nya, maka Dia tidak memerlukan apapun. Oleh karena itu Dia tidak berkehendak.
4.    Bisyr Al-Mu’tamir.
Ajaran yang penting menyangkut pertangung jawaban perbuatan manusia. Baginya , anak kecil tidak dimimntai pertanggung jawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seseorang yang berdosa besar kemudian bertaubat, lalu mengulangi lagi perbuatan dosa besar akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertaubat atas dosa besarnya yang terdahulu.
5.    Jahiz Abu Usman bin Bahar.
Jahiz Abu Usman bin Bahar mencetus paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum mu’tazilah disebut sunah Allah. Ia antara lain menjaleskan bahwa perbuatan–perbuatan manusia tidak semuanya di wujudkan oleh manusia itu sendiri melainkan ada pengaruh hukum alam.
6.    Muammar bin Abbad.
Pendapatnya yang terpenting ialah tentang keprcayaan pada hukum alam sama dengan pendapat Al-jahiz. Ia mengatakan bahwa tuhan hanya menciptakan benda-benda materi, sementara sesuatu yang datang pada benda-benda itu adalah hasil dari hukum alam. Contohnya, jika sebuah batu dilempar kedalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil hasil ciptaan tuhan.
7.    Al-Jubba’i.
Al-jubba’i memiliki pemikiran-pemikiran mengenai kalam Allah, sifat Allah, kewajiban manusia dan daya akal. Mengenai kalam Allah ia sependapat dengan An-nazzam yang mengatakan bahwa kalam Allah yaitu segala sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat di dengar. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim. Mengenai sifat Allah, ia menerangkan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, kalau dikatakan tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui berarti Dia berkuasa, berkehendak dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok yaitu kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya dan kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi. Sementara itu, daya akal menurut Al-jubba’i sangat besar. Dengan akalnya, manusia dapat mengetahui adanya tuhan serta kewajiban bersyukur kepada-Nya. Akal manusia selanjutnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban berbuat baik dan meningalkan yang buruk.
8.    Abu Musa Al-Mudrar.
Abu Musa Al-mudrar dianggap pemimpin mu’tazilah yang ekstrim karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurutnya, semua orang kafir jika mempercayai keqadiman Al-Qur’an. Ia juga menolak pendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat.
9.    Tsamamah bin Asyrastani.
Menurut pemikiran Tsamamah diantaranya :
1)   Sudah kodrat  tuhan bahwa alam ini harus ada. Alam ini juga seperti tuhan memang ada sejak azali dan akan tetap abadi. Sejalan dengan pemikiran Aristoteles, dia berpendapat bahwa alam ini kekal dan azali dan bukan baru, kemudian sesuta yang diciptakan Allah merupakan keniscayaan kodrat-Nya dan bukan dengan kehendak serta pilihan.
2)   Umat kristen, yahudi dan majusi setelah mereka mati, semuanya akan jadi debu. Mereka tidak akan masuk ke surga atau neraka. Nasib yang serupa akan dialami oleh hewan berderajat rendah dan oleh anak-anak. Orang kafir, yang tidak memiliki dan tidak berusaha untuk memiliki pengetahuan mengenai penciptanya, tidak berkewajiban untuk mengenal-Nya. Dia sangat lemah dan mirip dengan hewan rendah.
10.     Hisyam bin Amir Al-Fuwati.
Hisyam bin Amir Al-fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
11.     Abu Al-husain Al-khayyat.
Abu Al-husain Al-khayyat memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka mu’tazilah tentang peniadaan sifat-sifat tuhan. Ia berpendapat jika tuhan dikatakan berkehendak, maka kehendak tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada dzat tuhan dan bukan pula diwujudkan melalui dzat-Nya. Jadi, kehendak tuhan itu bukan dzat-Nya dan terlebih lagi bukan sifat-Nya, melainkan diinterpretasikan dengan tuhan mengetahui tuhan berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya sesuai dengan pengetahuan-Nya.














BAB III

KESIMPULAN


Mu’tazilah adalah nama yang diberikan kepada peristiwa Washil bin ‘Atha dengan gurunya yang meninggalkan pengajian karena tak sependapat dalam hal pelaku dosa besar. Sementara mereka sendiri menamakan Ahlu al Adl Wattauhid.
            Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai aliran rasional dalam Islam karena memberi peran akal lebih besar, sehingga dalam ajaran-ajarannya berbeda pendapat dengan golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran Mu'tazilah ini kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Al Qur'an secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim. Mu’taziliyah memiliki 5 ajaran utama, yakni :
  1. Tauhid.
 Mereka berpendapat :
    • Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
    • Al-Qur'an ialah makhluk.
    • Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.
  1. Keadilan-Nya.
Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
  1. Janji dan ancaman.
Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
  1. Posisi di antara 2 posisi.
Ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.
  1. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela).
 Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
Aliran Mu’tazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.

























DAFTAR PUSTAKA
·         Basri,hasan.dkk..Ilmu Kalam:Sejarah dan Pokok Pikiran Alira Aliran.2007.Azkia Pustaka Utama.Bandung.
·         Rozak,Abdul.dkk.Ilmu Kalam.2009.Pustaka Setia Bandung.
·         Rohanda..Ilmu Kalam dari Klasik sampai kontemporer.2006.Najwa Press.Bandung.
·         Nasution,Harun. Teologi islam  : Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan.2009.UI-press.Jakarta.
·         Hamid, Syamsul Rijal. 2002. Buku Pintar Agama Islam: Edisi Senior. Bogor: Penebar Salam.
·         Ibrahim Madkour, Fii al Falsafaf al Islamiyah Manhaj wa Tathbiquh, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmian dengan judul Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995)
·         Ahmad Amin, Fajr al Islam, (Kairo; Nahdatul Mishriyah, 1975)
·         Zuhdi Jarallah, al Mu’tazilah, (Beirut; al Ahliyat li al- Nasyr wa al Tawzi’, 1974)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar